Tapol termuda, pemahat patung mulut goa Nusa Kambangan

Di jagat seni rupa Indonesia, nama Gebar Sasmita tak asing lagi. Pelukis beraliran realis ini adalah mantan tahanan politik (tapol) termuda ‘alumni’ Nusa Kambangan, yang juga seorang pemahat patung di mulut goa Nusa Kambangan.

Pepatah buah tak jatuh jauh dari pohonnya, tepat sekali dialamatkan kepada Kang Gebar, demikian perupa kelahiran Agustus 1949 ini biasa disapa. Perupa impresionis ini adalah murid perupa Hendra Gunawan, yang juga murid S. Sudjojono, pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Bila Sudjojono mendirikan Persagi pada tahun 1937 dengan mengusung semangat realisme kerakyatan, maka karya-karya Kang Gebar pun diselimuti nuansa kerakyatan.


Bagi Kang Gebar, melukis bukan sekadar menggores keindahan. Sebuah karya hendaknya mampu menjewer jiwa-jiwa yang terlelap. Pada tahapan tertinggi, sebuah karya mampu menggerakkan semangat kaum yang diperlakukan tidak adil. Meski tidak melupakan keindahan sebuah karya.


Tapol termuda

Kesadaran Kang Gebar hari ini tentu tak lepas dari jalan panjang hidup yang telah dilakoninya. Usut punya usut ternyata beliau tahanan politik paling kecil ketika republik ini diguncang hura-hara 1965 silam. Dia ditahan bersama orang-orang yang dituduh “kena garis” Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kala itu usia Kang Gebar 15 tahun. Dia masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Teknik Negeri (STN)—setara SMP di Kota Pandeglang, Banten. “Saat itu saya aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Saya tak pernah tahu apakah IPPI itu organisasi sayap PKI atau tidak. Setahu saya, aktifitas IPPI hanya sebatas olahraga dan berkesenian,” kenang Kang Gebar.

Begitu peristiwa G30S 1965 meletus, sebagaimana dikisahkan Kang Gebar, banyak orang-orang yang ditangkap tentara. Tak terkecuali kakaknya yang menjadi aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan kakak iparnya selaku pimpinan Barisan Tani Indonesia (BTI).

“Sekolahan saya di Pandeglang Kota. Jadi selama sekolah saya tinggal menumpang di rumah kakak. Dan setiap liburan sekolah saya pulang ke rumah ibu di kampung di Citeureup, Banten. Waktu tentara menggerebek dan menangkap kakak dan kakak ipar, saya ikut ditangkap,” kenangnya.

Setelah diperiksa, Gebar kecil dilepas. Meski tidak ditahan dia dikenakan wajib lapor. “Saya dikenakan wajib lapor karena diketahui sebagai aktivis IPPI. Padahal di IPPI saya hanya anggota biasa, bukan pimpinan,” sambungnya saat berbincang dengan Lingkarberita.com.

Pada bulan Desember 1965, sekolah libur sebulan penuh karena puasa Ramadhan. Seperti biasanya, Gebar-pun hendak pulang ke kampungnya di Citeureup, Banten. Sebelum berangkat, Gebar mendatangi kantor Kodim untuk izin pamit selama libur sekolah tidak bisa melapor karena berlibur di kampung. Eh, bukan izin yang didapat, Gebar malah dimasukkan ke sel.

Sekitar bulan Juni 1966 bersama tapol lainnya, Gebar dipindahkan ke penjara di Serang, Banten. Lalu dikirim ke penjara Kebon Waru, Bandung. “Kehidupan di penjara Kebon Waru memprihatinkan. Awal masuk, para tapol hanya diberi makan bubur satu kali sehari. Malah, beberapa hari kemudian sama sekali tidak dikasih apa-apa,” ujarnya lirih.

Untuk menyambung hidup, kata dia, apapun dimakan. Kadang merebus akar papaya. Kadang makan dedek makananan ayam. Tapi lebih sering makan cicak, kalajengking, kelabang dan tikus. Sebab binatang-binatang tersebut paling mudah didapat.

“Kalau nggak berani makan itu, ya kelaparan dan mati. Suatu hari saya pernah mengirim surat kepada ibu karena saya tahu ibu pasti khawatir dengan apa yang saya alami. Saya katakan; ibu jangan khawatirkan saya. Saya tidak kelaparan, karena saya tidak mau lapar.”

Mengisi waktu luang, selama di Kebon Waru, Gebar menanam sayur bayam dan belajar membuat kerajinan tangan. Kerajinan tangan itu bisa dititip jual keluar penjara. Hasilnya bisa untuk beli beras. Jadi, sesekali makan enak pakai nasi dan sayur bayam. “Itulah menu nikmat selama dua tahun pertama di Kebon Waru. Nasi sesendok dengan bayam sebaskom,” katanya.

Mulai April 1969 ada perbaikan makanan. Menurut Kang Gebar, sejak itu tahanan dapat jatah makan ikan asin yang sudah pahit. Untuk mendapatkan menu tambahan, dia masih membuat kerajinan berupa tas, kap lampu dari batok kelapa, kompor dari kaleng bekas dan patung dari semen putih.


Universitas penjara

Di Kebon Waru-lah Gebar muda berjumpa Hendra Gunawan, seorang maestro seni lukis Indonesia. Hendra yang bersahabat dengan pelukis Affandi tercatat sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebelumnya dia anggota Persagi ikut S. Sudjojono yang tak lain gurunya sendiri.

Gebar menimba banyak hal dari Hendra yang memang tak pernah pelit berbagi kepandaian. “Di penjara banyak hal yang saya pelajari, terutama melukis. Tapol PKI itu pintar-pintar. Mau belajar bahasa asing ada gurunya, belajar kedokteran ada gurunya. Jadi penjara bagi saya adalah universitas. Di sana banyak pengetahuan.”

Tahun 1973 para tapol dipindah ke Nusa Kambangan. Kata dia, di Nusa Kambangan ada 9 lembaga pemasyarakatan. Tujuh untuk tahanan politik dan dua untuk tahanan kriminal. Aktivitas selama di sana, Senin sampai Sabtu tahanan disuruh bekerja. Ada yang menjadi kuli bangunan ada yang berkebun. Minggu libur.

Di sinilah Gebar semakin serius mendalami ilmu seni rupa. Tak hanya melukis, dia juga belajar mematung. Perkakas untuk berkarya seperti cat, kain dan pahat di pesan dari orang yang membesuk. Sebagai imbalan orang itu dihadiahi buah tangan karyanya sendiri.

Tahun 1979 ada pengumuman yang cukup membahagiakan, yakni para tapol akan dibebaskan karena mendapat amnesti internasional. Semenjak itu pula, setiap libur di hari Minggu, Gebar menghilang. Rupanya dia pergi ke Goa Ratu di daerah Candi.

“Saya pergi ke Goa Ratu sendirian. Di sana saya memahat batu yang ada di mulut goa. Maksudnya untuk kenang-kenangan sebelum meninggalkan pulau itu. Batu itu saya ukir menjadi tumpukan manusia dengan berbagai ekspresi wajah. Semua wajah itu seolah memandangi siapapun yang akan masuk goa. Hanya saja, sebelum karya itu selesai, saya keburu bebas,” Gebar bernostalgia.

Sejurus kemudian Kang Gebar yang larut dalam nostalgia masa lalunya tiba-tiba tersenyum simpul, lalu tiba-tiba mendadak tertawa terbahak-bahak. “Ada cerita lucu, baru-baru ini saya nonton televisi. Kebetulan acaranya mengulas tentang Nusa Kambangan. Batu yang saya ukir itu disorot dan pembawa acara di televisi itu menduga totem karya saya itu peninggalan manusia goa yang hidup ribuan tahun lalu. Saya hanya tertawa menyaksikan itu.”

Empat belas tahun dalam kurungan rezim Soeharto tanpa pernah diadili mengajarkan Kang Gebar banyak hal. Kini dia bisa menafkahi keluarga dan membeli sebidang tanah dari hasil melukis. Kisah hidupnya itupun ditorehkan dalam sebuah lukisan potret diri berjudul ‘Perjalanan Panjang’. Secercah sinar menyeruak dibalik dominasi warna suram lukisan itu.

Wenri Wanhar | Jakarta